My PCOS Diary: Tinggal Menjalani
Bismillahirrahmanirrahim
"Mbak nanti aku boleh ikut masuk ruang dokter ngga?" tanya Nca,
"Iya boleh Nca," jawabku.
Pertanyaan yang dilontarkan Rizka Auli Maulidina a.k.a Nca kepadaku di suatu sore setelah aku memintanya mengantarku ke suatu rumah sakit terdekat.
Wait...rumah sakit?
Lagi sakit?
Alhamdulillah tidak, selama diklat ini aku sehat wal 'afiat. Hanya saja aku perlu menuju rumah sakit karena kecerobohanku sendiri. Yaitu obat hormonku yang hilang menjelang keberangkatanku ke Jakarta beberapa hari yang lalu.
"Dok...obat saya hilang, saya posisi sedang di Jakarta, saya mau beli obat lagi tapi ditolak oleh apotek karena harus bawa resep, ada saran?" pesanku kepada dr.Naivah hari Ahad lalu melalui WA.
Entah bagaimana, aku rasa dokter sedang tidak fokus membaca pesan, walhasil dokter menjawab bahwa tidak apa-apa minum hanya enam hari saja (sebelum obat hilang). Karena sudah dibilang demikian, maka aku santai saja, tidak khawatir bahwa mungkin akan terjadi sesuatu.
Namun...
di hari Selasa malam, aku mengeluarkan darah istihadhah.
"Hmm...kenapa lagi ya ini?" tanyaku.
Darah itu awalnya sedikit, kemudian semakin deras dan semakin deras.
Setelah aku coba jelaskan kembali ke dr.Naivah, beliau akhirnya ngeh dan berkata bahwa itu adalah withdrawal bleeding alias pendarahan karena obat yang terputus.
Baiklah, cukup membuat sedih memang, tetapi seperti biasa, untuk mengatasi hal seperti ini, yang diperlukan bukan sedih, tetapi adalah tekad untuk berusaha.
Aku pun meminta rekomendasi dokter obgyn terdekat dari Pancoran. Tetapi sayang, jawaban dr.Naivah baru aku terima setelah aku memasuki rumah sakit hasil searchingku sendiri di internet karena dr.Naivah belum juga membalas.
"Mbak, kalau kayak gitu apa ngga ketergantungan obat?" tanya Nca yang mengantarku ke rumah sakit.
"Iya sih Nca, tapi...
saat ini aku ngga tau harus gimana selain minum obat itu (kalau mau pendarahanku berhenti).
.
.
.
Iya Ca, aku tahu, darah ini dari Allah, dan yang berkehendak menghentikannya juga Allah,
tapi Ca, aku ingin ga kebingungan buat menentukan apakah aku harus shalat atau engga, makanya aku berusaha biar pendarahannya berhenti."
"Jujur Ca, aku ga ada masalah mau aku mengeluarkan darah atau ngga, asal aku bisa tahu kapan aku harus shalat dan kapan engga shalat."
Aku harap Nca mengerti. Bahwa aku ingin shalat tanpa kebingungan menentukan status darah yang keluar, oleh karena itu aku melakukan hal tersebut.
Setelah mendaftar dan menunggu di ruang dokter, aku pun ragu untuk tetap meneruskan berobat disitu atau tidak. Mengingat yang ingin aku tanyakan ini bukan hanya tentang darah yang keluar, tetapi juga status darahnya, apakah haid atau bukan. Maka harusnya aku pergi ke dokter kandungan yang muslim. Sayangnya, dari nama dokter kandungan yang aku kunjungi di rumah sakit itu, sepertinya beliau non muslim.
"Nca, kamu balik aja deh, aku mau cari dokter lain, gapapa aku jalan kaki aja, kayaknya deket kok," ucapku kepada Nca setelah aku jelaskan bahwa aku ragu meneruskan berobat disana karena alasan yang aku sebutkan tadi.
Nca pun mengerti dan dia meneruskan perjalanan pulang. Aku pun meneruskan usahaku dengan menuju dokter lain di rumah sakit lain hasil rujukan dr.Naivah yang baru aku terima informasinya. Jarak lokasi rumah sakit tersebut adalah enam menit jalan kaki dari lokasi rumah sakit yang sekarang.
Sepanjang perjalanan dengan berjalan kaki, aku berharap dokternya adalah perempuan, dan aku berharap dokternya muslim.
Sesampainya di rumah sakit, Alhamdulillah aku mendapat urutan pertama dan segera diperiksa. Seperti biasa, menjelaskan kasus ke dokter yang baru aku temui memang tidak mudah.
Dokter pun memintaku untuk USG dan sejujurnya aku sudah tahu pasti aku akan di USG karena pendarahan. Tetapi kali ini, USG nya cukup berbeda dari USG-USG sebelumnya yang aku alami.
Baiklah, cukup cerita di ruang dokter, saatnya beralih ke kasir.
Jika ditanya bagaimana rasanya bolak balik ke dokter kandungan, bolak balik di USG, mungkin akan sulit untuk diceritakan.
Bohong rasanya jika aku berkata bahwa aku tidak pernah sedih, terlebih, aku sering melewati ini seorang diri. Tetapi, hai! Mengapa aku harus sedih?
Ketika membayar ke kasir dan melihat rincian yang aku bayar, aku hanya berpikir, "Kenapa sih aku harus sedih? Toh aku tinggal menjalani lho! Bantuannya udah ada dari Allah."
Beberapa hari lalu, aku mendapat uang yang hasil dari honor menjadi panitia UKK SPMB PKN STAN. Rezeki yang rasanya memang Allah berikan sebagai bantuan untukku untuk menghadapi kejadian berobat hari itu.
Kepergianku ke Jakarta untuk diklat, sama sekali aku tidak berpikir harus pergi ke dokter kandungan, sama sekali aku tidak berpikir akan diuji sekali lagi seperti itu, tetapi selalu, Allah selalu memberikan pertolongan,
dan aku tinggal menjalaninya.
Iya, aku tahu, aku melewati itu sendiri, bahkan aku pulang ke hotel juga jalan kaki.
Dan siapa yang tidak sedih jika sudah berusaha berobat tetapi juga belum kunjung sembuh?
Kalau dipikir pakai logika manusia biasa, sepertinya sangat pantas buat depresi dan menangis tiada henti.
Namun, Alhamdulillah, Allah selalu menguatkan aku. Dibalik semua kesulitan yang aku hadapi, Allah berikan pertolongan-Nya. Allah hadirkan banyak orang baik untuk membantuku. Allah beri aku pikiran positif bahwa benar, aku memang diuji dengan sakit ini, tetapi mungkin, inilah jalan yang akan memudahkan aku menuju surga.
Amalku begitu sedikit sedangkan dosaku begitu banyak, maka apakah aku yakin akan selamat dari api neraka?
Mungkin sakit inilah jalan untuk menggugurkan dosa-dosaku.
Maka, pantaskah aku bersedih?
---
See?
Hidupmu begitu outstanding kan Ma?
Dan dibalik semua kejutan yang akan Allah beri nantinya, kamu harus yakin bahwa semua ujian itu hanya tinggal kamu jalani saja, adapun pertolongannya, pasti sudah Allah siapkan, pasti!
Selesai ditulis di Stasiun Gambir,
20 Muharram 1441H.
"Mbak nanti aku boleh ikut masuk ruang dokter ngga?" tanya Nca,
"Iya boleh Nca," jawabku.
Pertanyaan yang dilontarkan Rizka Auli Maulidina a.k.a Nca kepadaku di suatu sore setelah aku memintanya mengantarku ke suatu rumah sakit terdekat.
Wait...rumah sakit?
Lagi sakit?
Alhamdulillah tidak, selama diklat ini aku sehat wal 'afiat. Hanya saja aku perlu menuju rumah sakit karena kecerobohanku sendiri. Yaitu obat hormonku yang hilang menjelang keberangkatanku ke Jakarta beberapa hari yang lalu.
"Dok...obat saya hilang, saya posisi sedang di Jakarta, saya mau beli obat lagi tapi ditolak oleh apotek karena harus bawa resep, ada saran?" pesanku kepada dr.Naivah hari Ahad lalu melalui WA.
Entah bagaimana, aku rasa dokter sedang tidak fokus membaca pesan, walhasil dokter menjawab bahwa tidak apa-apa minum hanya enam hari saja (sebelum obat hilang). Karena sudah dibilang demikian, maka aku santai saja, tidak khawatir bahwa mungkin akan terjadi sesuatu.
Namun...
di hari Selasa malam, aku mengeluarkan darah istihadhah.
"Hmm...kenapa lagi ya ini?" tanyaku.
Darah itu awalnya sedikit, kemudian semakin deras dan semakin deras.
Setelah aku coba jelaskan kembali ke dr.Naivah, beliau akhirnya ngeh dan berkata bahwa itu adalah withdrawal bleeding alias pendarahan karena obat yang terputus.
Baiklah, cukup membuat sedih memang, tetapi seperti biasa, untuk mengatasi hal seperti ini, yang diperlukan bukan sedih, tetapi adalah tekad untuk berusaha.
Aku pun meminta rekomendasi dokter obgyn terdekat dari Pancoran. Tetapi sayang, jawaban dr.Naivah baru aku terima setelah aku memasuki rumah sakit hasil searchingku sendiri di internet karena dr.Naivah belum juga membalas.
"Mbak, kalau kayak gitu apa ngga ketergantungan obat?" tanya Nca yang mengantarku ke rumah sakit.
"Iya sih Nca, tapi...
saat ini aku ngga tau harus gimana selain minum obat itu (kalau mau pendarahanku berhenti).
.
.
.
Iya Ca, aku tahu, darah ini dari Allah, dan yang berkehendak menghentikannya juga Allah,
tapi Ca, aku ingin ga kebingungan buat menentukan apakah aku harus shalat atau engga, makanya aku berusaha biar pendarahannya berhenti."
"Jujur Ca, aku ga ada masalah mau aku mengeluarkan darah atau ngga, asal aku bisa tahu kapan aku harus shalat dan kapan engga shalat."
Aku harap Nca mengerti. Bahwa aku ingin shalat tanpa kebingungan menentukan status darah yang keluar, oleh karena itu aku melakukan hal tersebut.
Setelah mendaftar dan menunggu di ruang dokter, aku pun ragu untuk tetap meneruskan berobat disitu atau tidak. Mengingat yang ingin aku tanyakan ini bukan hanya tentang darah yang keluar, tetapi juga status darahnya, apakah haid atau bukan. Maka harusnya aku pergi ke dokter kandungan yang muslim. Sayangnya, dari nama dokter kandungan yang aku kunjungi di rumah sakit itu, sepertinya beliau non muslim.
"Nca, kamu balik aja deh, aku mau cari dokter lain, gapapa aku jalan kaki aja, kayaknya deket kok," ucapku kepada Nca setelah aku jelaskan bahwa aku ragu meneruskan berobat disana karena alasan yang aku sebutkan tadi.
Nca pun mengerti dan dia meneruskan perjalanan pulang. Aku pun meneruskan usahaku dengan menuju dokter lain di rumah sakit lain hasil rujukan dr.Naivah yang baru aku terima informasinya. Jarak lokasi rumah sakit tersebut adalah enam menit jalan kaki dari lokasi rumah sakit yang sekarang.
Sepanjang perjalanan dengan berjalan kaki, aku berharap dokternya adalah perempuan, dan aku berharap dokternya muslim.
Sesampainya di rumah sakit, Alhamdulillah aku mendapat urutan pertama dan segera diperiksa. Seperti biasa, menjelaskan kasus ke dokter yang baru aku temui memang tidak mudah.
Dokter pun memintaku untuk USG dan sejujurnya aku sudah tahu pasti aku akan di USG karena pendarahan. Tetapi kali ini, USG nya cukup berbeda dari USG-USG sebelumnya yang aku alami.
Baiklah, cukup cerita di ruang dokter, saatnya beralih ke kasir.
Jika ditanya bagaimana rasanya bolak balik ke dokter kandungan, bolak balik di USG, mungkin akan sulit untuk diceritakan.
Bohong rasanya jika aku berkata bahwa aku tidak pernah sedih, terlebih, aku sering melewati ini seorang diri. Tetapi, hai! Mengapa aku harus sedih?
Ketika membayar ke kasir dan melihat rincian yang aku bayar, aku hanya berpikir, "Kenapa sih aku harus sedih? Toh aku tinggal menjalani lho! Bantuannya udah ada dari Allah."
Beberapa hari lalu, aku mendapat uang yang hasil dari honor menjadi panitia UKK SPMB PKN STAN. Rezeki yang rasanya memang Allah berikan sebagai bantuan untukku untuk menghadapi kejadian berobat hari itu.
Kepergianku ke Jakarta untuk diklat, sama sekali aku tidak berpikir harus pergi ke dokter kandungan, sama sekali aku tidak berpikir akan diuji sekali lagi seperti itu, tetapi selalu, Allah selalu memberikan pertolongan,
dan aku tinggal menjalaninya.
Iya, aku tahu, aku melewati itu sendiri, bahkan aku pulang ke hotel juga jalan kaki.
Dan siapa yang tidak sedih jika sudah berusaha berobat tetapi juga belum kunjung sembuh?
Kalau dipikir pakai logika manusia biasa, sepertinya sangat pantas buat depresi dan menangis tiada henti.
Namun, Alhamdulillah, Allah selalu menguatkan aku. Dibalik semua kesulitan yang aku hadapi, Allah berikan pertolongan-Nya. Allah hadirkan banyak orang baik untuk membantuku. Allah beri aku pikiran positif bahwa benar, aku memang diuji dengan sakit ini, tetapi mungkin, inilah jalan yang akan memudahkan aku menuju surga.
Amalku begitu sedikit sedangkan dosaku begitu banyak, maka apakah aku yakin akan selamat dari api neraka?
Mungkin sakit inilah jalan untuk menggugurkan dosa-dosaku.
Maka, pantaskah aku bersedih?
---
See?
Hidupmu begitu outstanding kan Ma?
Dan dibalik semua kejutan yang akan Allah beri nantinya, kamu harus yakin bahwa semua ujian itu hanya tinggal kamu jalani saja, adapun pertolongannya, pasti sudah Allah siapkan, pasti!
Selesai ditulis di Stasiun Gambir,
20 Muharram 1441H.
Di stasiun Duren Kalibata, hari Rabu lalu |
Comments
Post a Comment