My PCOS Diary: Babak Baru

Bismillahirrahmanirrahim

Here we go...

Babak baru upaya penanggulangan PCOS yang aku alami.

Setelah menikah, tindakan-tindakan medis yang tidak dibolehkan selama masih gadis, bisa dilakukan.

Gimana rasanya?

Rasanya...

ngga bisa diceritakan.

Dulu, hanya boleh USG perut atau paling mentok USG lewat (maaf) anus.

Kini, USG transvagina boleh dilakukan.

Jum'at pekan lalu cuti 1/2 hari 

Rabu pekan yang lalu, tepatnya tanggal 15 Januari, aku kembali mengunjungi dokter kandunganku di Bali.

Dari pagi hingga sore aku terus mengumpulkan keberanian untuk berobat ke dokter.

Bukan karena apa, sesungguhnya aku sudah terbiasa dengan dokter kandungan,

tetapi kala itu, aku tahu konsekuensi yang akan aku dapatkan ketika kontrol ke dokter kandungan.

Aku akan mengalami hal yang sama dengan yang aku alami beberapa hari sebelumnya.

Mendarat di Surabaya 


Tanggal 9 Januari aku kontrol ke dokter kandungan karena aku mengalami flek.

Apa yang terjadi ketika itu?

Aku tidak lagi diminta untuk berbaring di ranjang untuk USG perut seperti biasa,

hari itu, untuk pertama kali setelah bertahun-tahun aku berobat ke dokter kandungan,

tindakan vaginal toilet dilakukan.

Mengapa ini tidak dilakukan dari dulu?

Karena dulu aku belum menikah, tindakan ini dikhawatirkan akan merusak selaput dara.


Baik mungkin ini akan agak vulgar dan terdengar mengerikan.

Vaginal toilet adalah tindakan medis untuk membersihkan vagina bagian dalam dan rahim dengan cara menyemprotkan cairan dalam pengawasan dokter ke dalam vagina.

Wah gimana tuh caranya?

Pasien duduk di kursi dengan kaki mengkangkang seperti ibu yang akan melahirkan, lalu dokter akan memasukkan alat untuk membuka mulut vagina kemudian cairan disemprotkan.

Rasanya?

SAKIT! ASLI.

Saat itu yang aku lakukan adalah berteriak, karena aku ngga menyangka bahwa rasanya akan sakit seperti itu.

Baiklah, sejujurnya vaginal toilet ini tidak akan sakit jika pasien bisa rileks dan tidak tegang.

Tetapi, karena itu pengalaman pertamaku, aku benar-benar tegang dan tidak bisa rileks, walhasil rasa sakit adalah hal yang aku rasakan.

Dokter mengatakan bahwa mulut rahimku berwarna merah karena sering keputihan.

Dan saat itu aku diminta untuk melakukan beberapa hal untuk mencegah keputihan.


Tanggal 15 Januari, aku kembali ingin berkonsultasi ke dokter karena flek yang muncul tidak berhenti dan malah menjadi darah.

Aku benar-benar takut, takut mengalami sakit yang sama lagi.

Terlebih, setelah melihat youtube, aku membaca beberapa komentar bahwa pembukaan mulut vagina rasanya sakit, walau ada juga yang berkomentar tidak sakit.

Aku kembali berselancar di youtube mencari tayangan-tayangan terkait kesehatan reproduksi.

Sampailah aku pada pembahasan kanker serviks.

Aku semakin takut, semakin parno, semakin tidak berani.

Tetapi kemudian, aku berpikir lagi,

mau tidak mau, baik sekarang ataupun nanti, aku tetap akan merasakan hal itu lagi karena hal itu memang perlu untuk dilakukan.

Pembukaan mulut vagina ini dilakukan di banyak tindakan medis, contohnya vaginal toilet, HSG, dan pap smear.

Aku berpikir, ketika tua nanti, mungkin aku akan melakukan pap smear secara rutin untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Maka, mau sekarang atau pun nanti, rasa sakit itu harus tetap aku hadapi. Harus!


Maka, sore hari setelah pulang kantor, di bawah guyuran hujan, aku memberanikan diri menuju dokter kandungan.

Beberapa saat sebelum masuk ke ruangan, suamiku menelepon. Sepertinya dia sangat mengerti bahwa aku sedang memupuk keberanian untuk menjalani pemeriksaan lagi.

"Nanti di dalem waktu itu pemeriksaan lagi, telpon Mas aja, ngobrol-ngobrol buat mengalihkan rasa sakit," kata suamiku.

Haha, kadang dia ini memang punya ide yang aneh. Tetapi aku tahu, saat itu dia sedang berusaha mendampingiku di tengah kondisi kami yang masih berjauhan.

Dulu saat SMP, aku kagum pada suara adzan salah seorang siswa yang mengumandangkan adzan untuk shalat dhuhur. Dan tidak kusangka, pemilik suara itu adalah jodohku.


Ketika masuk, aku sudah cukup berani jika pemeriksaan itu dilakukan lagi.

Dan benar saja, aku duduk di kursi itu lagi.

Aku tidak jadi menelepon suamiku ketika itu karena takut akan menyakiti hatinya mendengar diriku yang kesakitan.

Selain itu, kata perawat, akan menyulitkan diri sendiri jika menelepon sambil diperiksa.

Akhirnya, aku harus menghadapi hal itu lagi.

Aku sudah berusaha rileks, menghadap ke atas dan berusaha merasa seakan tidak terjadi apa-apa.

Di awal, ternyata aku masih takut, aku masih tegang dan dokter menegurku bahwa pemerikaaan tidak bisa dilakukan jika aku masih tegang.

Aku berusaha rileks, berusaha meyakinkan diri bahwa Insyaa Allah tidak akan sakit jika tidak tegang.

Dan...

Alhamdulillah...

Tidak sakit.

Hanya kerasa tidak nyaman saja.

Dokter mengatakan bahwa mulut rahimku sudah membaik karena hal-hal yang disarankan agar tidak terjadi keputihan sudah aku lakukan.

Alhamdulillah...

Tetapi...

Ada babak baru lain yang harus aku hadapi...

yaitu kuret.

Apa itu dan bagaimana rasanya?

To be continued Insyaa Allah.

---

Di tulis di Denpasar, Bali

24 Jumadil 'Ula 1441H

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!