Pendidikan yang Ideal: Bukan Ajang Kompetisi

Bismillahirrahmanirrahim

Aku menemukan tulisan lamaku di blog sebelumnya. Sungguh tercengang, kok bisa ya dulu punya ide nulis kayak gitu? Aku ingat sekali, tulisan itu aku buat sebagai prasyarat seleksi lomba menulis untuk mewakili PKN STAN di Lomba Esai Nasional tahun 2016.

Masyaa Allah...

Walau jujur, saat ini, setelah belajar ilmu kepenulisan, aku merasa tulisan ini masih jauh dari kata 'baik', but I'm proud of the old me :) Terimakasih untuk tidak lelah berjuang wahai diri!

Aku inget banget dulu nulisnya dalam waktu yang singkat karena deadlinenya udah mepet. Jadwal tentir aku minta dimundurkan karena aku ga bisa ngajar di sela-sela waktu nulis itu.

Kangen banget momennya :')

Masa-masa waktu masih muda.

So here we go! My own old but gold! Hopefully you can enjoy it!

---

Oleh : 

Rahma Aziza Fitriana

 (Mahasiswa semester 5 DIII Akuntansi Reguler PKN STAN)


Indonesia adalah negara hukum yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan bernegaranya dalam hukum yang berlaku. Tujuan negara Indonesia tercantum pada pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. Satu diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi titik penting untuk meningkatkan stabilitas nasional karena pendidikan adalah salah satu hal terpenting dalam kemajuan suatu bangsa. Dalam buku berjudul ‘Landasan dan Arah Pendidikan Kita’ yang ditulis oleh Prof. Dr. Soedijarto, M.A. (2008), Erman Suparno yang pada periode Indonesia Bersatu jilid pertama mengemban amanah sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mengungkapkan bahwa kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan kualitas pendidikan. Beliau menambahkan bahwa pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki peranan yang sangat stategis, yaitu berkontribusi dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu, dengan indikator berkualifikasi ahli, terampil, kreatif, inovatif, serta memiliki attitude (sikap dan perilaku) yang positif. 

 

Pendidikan menjadi hal yang memengaruhi daya saing suatu negara. Schwab dan Porter dalam Ali (2008) mengungkapkan bahwa pilar-pilar daya saing meliputi institusi, infrastruktur, stabilitas makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, kepuasan pasar keuangan, kesiapan teknologi, kesiapan pasar, kepuasan bisnis, dan inovasi. 

 

Berangkat dari fakta diatas, penulis tertarik untuk menilik kondisi pendidikan di Indonesia. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia memerlukan perbaikan. Dalam laporan di tahun 2007 yang dirilis Bank Dunia dalam Ali (2008) tentang pendidikan di Indonesia, ditemukan bahwa kualitas pendidikan yang diterima di sekolah cukup rendah dan infrastuktur dalam kondisi yang memburuk. Selain itu, sistem pendidikan Indonesia tidak cukup memproduksi siswa dengan pengetahuan dan skill yang dibutuhkan untuk bekerja dalam sektor – sektor ekonomi dengan potensi pertumbuhan yang tinggi. 

 

Ada banyak hal yang perlu diperbaiki tentang pendidikan di Indonesia, tetapi perbaikan mendasar menjadi hal yang utama. Hal yang paling mendasar tersebut adalah  mindset tentang pendidikan itu sendiri. Di hari – hari sekarang ini, berbagai pihak, yang meliputi sekolah, orang tua siswa, dan siswa, beranggapan bahwa sekolah adalah ajang kompetisi, dalam artian, sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar siswa, tempat memperoleh ilmu pengetahuan, beralih perannya menjadi tempat untuk membuktikan siapa yang terbaik diantara siswa dan tempat untuk menunjukkan siapa yang memiliki nilai yang tinggi. 

 

Pola pikir seperti ini terbentuk karena pandangan bahwa sekolah terbaik adalah sekolah yang siswanya mengungguli siswa dari sekolah lain dalam hal akademis. Koesoema (2016) menyatakan bahwa di Indonesia, praktis kecurangan selama Ujian Nasional telah berlangsung lama dan menjadi cara bertindak umum dikalangan pendidik dan siswa. Indikator akademis masih menjadi indikator utama dalam menilai kualitas suatu sekolah. Indikator prestasi akademis menjadi indikator penentu seseorang disebut cerdas atau tidak. Banyak orang tua kelimpungan mencari tempat les terbaik agar anaknya bisa mendapat nilai yang baik di sekolah. Orang tua akan merasa malu jika anaknya harus mengikuti ujian ulang. Hal ini tentu tidak salah, ujian memang diperuntukkan untuk menguji pemahan siswa, tetapi mendapat nilai yang tinggi bukanlah hal yang utama. 

 

Banyak pihak lupa bahwa indikator keberhasilan suatu pendidikan tidak hanya ditentukan pada prestasi akademis. Betapa banyak saat ini dijumpai orang yang hebat dalam hal akademis, tetapi akhlak dan perilakunya tercela. Banyak pihak lupa bahwa sekolah adalah tempat mencari ilmu, tempat mengajarkan akhlak dan adab dari seorang guru kepada siswanya, bukan sekadar tempat berkompetisi.

 

Pola pikir yang demikian menyebabkan siswa terbentuk dengan karakter yang materialis. Keberhasilan diukur dengan nilai yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan siswa dapat menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang tinggi tersebut. Ditambah dengan kemajuan teknologi, kemudahan demi kemudahan dapat diperoleh siswa untuk mendapatkan nilai yang tinggi, mencontek dengan  mengakses google misalnya. Koesoema (2016) menyatakan jika kita memahami peran guru sekadar sebagai agen transfer ilmu yang tugasnya seperti mengisi otak siswa dengan pengetahuan bagaikan gelas kosong, kemajuan teknologi merupakan pukulan telak yang membuat guru knock out  sebelum bel ronde terakhir berbunyi. Guru senantiasa ketinggalan zaman, dia bisa benar-benar kehilangan orientasi nilai tentang keberadaan dirinya sebagai pendidik dan pengajar.

 

Andirja (2016) menyatakan bahwa dalam Kitab Buluughul Maraam karya Al-Haafizh Ibnu Hajar yang membahas tentang fiqih, diakhiri dengan Kitaabul Jaami’ yang cenderung berhubungan dengan masalah adab dan akhlak. Hal tersebut seolah menunjukkan bahwa jika seseorang telah menguasai bab-bab ilmu, maka hendaknya dia beradab dan memiliki akhlak yang mulia. Adab yang mulia dalam pendidikan di Indonesia adalah hal yang sangat penting. Andirja (2016) menambahkan karena bisa jadi ilmu yang luas dapat menjadikan pemiliknya terjerumus dalam kesombongan dan merendahkan orang lain. 

 

Mengubah mindset tentu bukan hal yang mudah. Namun, dengan semangat yang sama seperti awal kemerdekaan negeri ini, tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan negara adalah untuk mencetak siswa yang berilmu dan dapat mengamalkan ilmunya. Pendidikan sebagai hal yang mampu menopang stabilitas nasional, perlu mendapat perhatian utama untuk segera dibenahi. Mana mungkin bangsa ini dapat mencapai derajat stabilitas nasional untuk memenangi persaingan global, jika pola pikir pragmatis, yaitu belajar untuk ujian dan untuk nilai yang tinggi, bukan untuk mendapat ilmu yang baik, tetap tidak ditinggalkan?

  

Referensi :

Ali, Mohammad. 2009. Pendidikan untuk Pembangunan Nasional. Jakarta: Imtima.

Andirja, Firanda. 2016. Muslim yang Paling Sempurna Imannya, yang Paling Baik

Akhlaknya. Bogor : Bimbingan Islam, Pesantren Wisata Madinatul Qur’an.

Koesoema A., Doni. 2016. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta : Grasindo.

Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Kita. Jakarta : Kompas Media

            Nusantara.


---

Kembali diposting di Denpasar, Bali
10 Syawal 1442H


Pendidikan yang baik adalah pilar untuk meraih kejayaan Islam kembali


Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!