Tentang Masjid, Manajemen, dan Tendensi Kuliah

Bismillahirrahmanirrahim

Beberapa waktu yang lalu aku membaca ulasan seseorang tentang mengapa ia tak prefer berinfaq di masjid. Cukup menarik memang dan ternyata banyak juga yang sepemikiran dengannya. Hal ini dibuktikan dengan cukup ramainya kolom komentar postingannya.

Jadi, mengapa ia tak prefer berinfaq di masjid?

Menurutnya berinfaq di masjid tak memberi dampak secara langsung ke masyarakat. Kok bisa? Mari baca penjelasannya ini.

Ia menjelaskan kurang lebih begini. Masjid di kampung bisa mengumpulkan dana 1jt tiap kali shalat Jum'at. Jika ada empat pekan, setidaknya satu masjid di kampung bisa mengumpulkan 4jt selama satu bulan. Itu belum infaq harian masyarakat juga belum infaq yang dikumpulan selama bulan Ramadhan. Bisa terbayang bukan bahwa satu masjid di kampung bisa mengumpulkan banyak dana selama satu tahun? Terlebih lagi masjid besar di perkotaan.


Tempat bersujud


Namun ironinya, dana yang dikumpulkan itu seolah tak sampai ke masyarakat. Yang ada adalah pembangunan dan pembangunan masjid. Ya, kita tak bisa tutup mata bahwa hari hari ini orang-orang berlomba-lomba membangun masjid sebaik mungkin. Mereka berlomba memperindah masjid dengan segala ornamen dan hal yang sejatinya tak terlalu dibutuhkan oleh umat.

Dimana masjid ketika ada orang yang kelaparan? Dimana masjid ketika ada orang butuh pinjaman uang? Dimana masjid ketika orang tua butuh dana pendidikan anak-anaknya? Dimana masjid ketika ada orang butuh uang untuk pengobatan?

Sungguh dalam hal peran masjid yang hilang ini, aku sepemikiran dengan orang ini.

Ironi sekali memang. Namun inilah kenyataannya. Kita tak kekurangan masjid, tetapi kita kekurangan peran masjid.

Masjid kita hari ini seperti terbatas untuk kegiatan shalat, berbuka puasa, dan kajian saja. Masjid kita hari ini kehilangan 'ruh' peradaban yang memberdayakan masjid untuk segala sendi kehidupan. Tidakkah kita ingat bahwa di zaman Rasulullah, masjid tak terbatas untuk kegiatan ibadah saja? Masjid menjadi tempat pendidikan, kesehatan sekaligus pembinaan umat. Dimana masjid itu saat ini?

Di sisi lain, di belahan bumi yang berbeda, yaitu negara-negara barat, kaum muslimin kesusahan menyewa tempat untuk dijadikan masjid karena terganjal biaya sewa yang terus mencekik. Dimana kita sebagai negara mayoritas muslim terbesar ketika saudara kita sangat butuh uluran tangan? Dimana uang-uang yang terkumpul dari seluruh pelosok negeri itu dihabiskan?

Maka tak heran jika kemudian si penulis ini prefer berinfaq lewat platform seperti kitabis* atau platform lainnya yang jelas tujuannya untuk apa. Satu keinginanya: uang yang ia infaqan bisa berdampak untuk masyarakat yang membutuhkan.

Aku tak mengatakan bahwa membangun atau memperindah masjid itu totally wrong. Aku juga tak mengajak teman-teman berhenti berinfaq di masjid. No. Namun, aku hanya mencoba mengajak berpikir bahwa  masjid bisa lebih optimal perannya jika manajemennya baik.

Logikanya begini. Kita tentu ingat program pemerintah terkait pemberian uang satu miliar untuk tiap desa bukan? Apa hasil dari uang satu miliar itu? Apakah ada hasil signifikan dari dana yang diluncurkan sejak beberapa tahun itu? Mirisnya, tidak ada. 

Yang kita lihat adalah pembangunan dan pembangunan. Pembangunan jembatan, pembangunan gedung A, B, C yang bahkan seringkai akhirnya terbengkalai. pun jika tidak pembangunan, uangnya disunat oleh pejabatnya.

I don't know. Sungguh aku tak bermaksud memojokkan siapa pun. Namun, aku harus berkata jujur bahwa akar masalah dari hal ini adalah karena tidak adanya manajemen yang baik dalam pengelolaan uang. Ya, kita krisis kemampuan manajerial.

Akibatnya ketika punya banyak uang, kita bingung mau dikemanakan. Supaya terlihat bekerja dan terlihat uangnya terpakai, jalan cepatnya adalah pembangunan dan pembangunan. Entah pada akhirnya akan bermanfaat atau tidak, yang penting ada pembangunan.

Jangankan pemerintah, anak muda jaman now aja juga gitu kok. Mau tahu buktinya? Berapa banyak teman-temen w yang punya gaji hampir dan lebih dari dua digit menggunakan uangnya untuk hal yang sejatinya ga butuh-butuh amat? Makan di tempat makan kekinian tiap hari, mager beli makan tinggal pesen gofood senilai 50rb, minum boba tiga kali sehari wkwk, ngemil pizza atau martabak manis tiap dua jam, checkout ini itu cuma gara-gara pingin dan lucu. 

Nah, bingung kan kalau punya uang banyak tapi ga punya kemampuan manajerial yang baik? Akibatnya uang yang dimiliki tidak terarah dan berujung pada penghambur-hamburan. Ujung-ujungnya ambil rumah KPR (pada ga takut riba apa ya?) padahal sejatinya bisa nabung dari awal kerja buat beli rumah secara cash

Itu akibat jangka pendeknya, akibat jangka panjangnya jadi beranggapan kalau kebutuhan hidup itu buanyak banget jadi takut resign deh #eh

Padahal kalau mau jujur, kebutuhan kita itu dikit kok, keinginan kita aja yang banyak. Ada keluarga yang aku kenal penghasilannya 2jt per bulan dan masih bisa makan dengan enak, berteduh di rumah yang nyaman, dan berkegiatan tanpa kekurangan apa-apa. 

Oke, balik lagi ke topik utama. See? Kemampuan manajerial itu penting banget lho. Berpengaruh banget baik dalam kehidupan pribadi, pengelolaan dana masjid, dana pemerintah, dsb. 

Pertanyaannya, kan sajana dan magister manajemen banyak banget nih, lulusan luar negeri jurusan manajemen juga bejibun, kok bisa Indonesia krisis kemampuan manajerial?

Hal ini pernah aku singgung di postingan berjudul "Fitrah Belajar yang Terluka" beberapa waktu yang lalu. Selama tendensi belajar kita masih salah maka perbaikan untuk Indonesia akan sulit dilakukan. Apa sih tendensi kita kuliah ini dan itu? Apa tendensi kita cari beasiswa ini itu? 

Apa karena ijazah? Apa karena gelar? Apa karena supaya dapat pekerjaan yang bagus? Apa karena biar bisa foto-foto cantik berlatar negara Eropa pas dapet beasiswa? C'mon guys, let's wake up!

Indonesia ga krisis orang pinter kok. Indonesia krisis orang berniat tulus. Selama tendensi kuliah atau belajar kita masih salah maka kita akan sulit memperbaiki kondisi ini. Sebanyak apapun warga Indonesia belajar tentang manajemen, kalau tendensinya untuk sikut-sikutan memperebutkan kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri, ya mohon maaf nih, mimpi memperbaiki kemampuan manajerial ini akan sulit dilakukan.

Sungguh benar hadits berikut ini.


إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ


Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

Ayo teman, jangan remehkan masalah niat. Para ahli ilmu terdahulu belajar adab puluhan tahun sebelum belajar ilmu. Dan tentu kita tahu niat yang lurus adalah salah satu adab menuntut ilmu.

Ayo kita berjuang mengembalikan fungsi masjid yang optimal. 

---

Ditulis di Rungkut, Surabaya
9 Rabi'ul Awwal 1443H.

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!