Mahabbah Pekan ke-14: Iijaaz - Ithnaab - Musaawaah & Fashl - Washl
Bismillahirrahmanirrahim
Pertemuan terakhir belajar Balaghah bersama Ustadz Nur Fajri Ramadhan hafidzahullah. Kita masih membahas Ilmu Ma'anii. Kali ini kita akan membahas dua bahasan terakhir, yaitu tentang Iijaaz - Ithnaab - Musaawaah & Fashl - Washl
Iijaaz - Ithnaab - Musaawaah
Iijaaz -> Lafal lebih sedikit daripada makna.
Ithnaab -> Lafal lebih banyak daripada makna.
Musaawaah -> Lafal sama banyak daripada makna.
---
Contoh Iijaaz (الإيجاز)
Surat Al Baqarah: 179
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa."
Lafalnya ringkas (qishash) tapi maknanya dalam. Yang kita lihat, dalam qishash yang berupa pembunuhan, ada kematian. Walaupun qishash tidak selalu tentang pembunuhan. Bisa juga pemotongan dan beberapa kasus pelukaan.
Dengan diperlihatkannya qishash di hadapan publik, orang yang tadinya berniat mau membunuh akan berpikir ribuan kali. Bahkan bisa jadi tidak jadi membunuh. Dan dengan demikian berarti ada kehidupan orang (baik calon pembunuh dan calon terbunuh) yang terselamatkan. Bahkan kehidupan keluarga kedua belah pihak pun juga terselamatkan.
Kata-katanya ringkas, tetapi maknanya dalam. Dan ini lebih indah dari pada ungkapan yang populer di kalangan bangsa Arab jahiliyah terdahulu walaupun mereka tidak menamai qishash. Mereka menamainya bunuh balas bunuh.
Contoh Ithnaab (الإطناب)
Ditanya kemudian menjawab lebih dari yang ditanya.
Surat 20: 17-18
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ
"Apakah itu yang di tangan kananmu, wahai Musa?"
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ
"Musa berkata, 'Ini adalah tongkatku, aku letakkan padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain."
Nabi Musa hanya ditanya tentang apa yang beliau bawa. Namun, karena ada kesempatan berbicara langsung kepada Allah, beliau menambah ucapannya lebih dari apa yang ditanya.
Di antara bentuk Ithnaab adalah jika kita menikmati pembicaraan. Contoh ketika istri berbicara dengan suami atau ketika kita berbicara dengan syaikh terkenal yang sulit kita ajak bicara sewaktu-waktu.
Contoh lainnya adalah ketika menyebutkan kenikmatan atau fasilitas. Justru tidak pas secara momen jika ditanya tentang fasilitas lalu kita menjawab singkat. Demikian lah Allah menjelaskan tentang kenikmatan Surga. Tidak pas jika penjelasannya singkat.
Walaupun ada juga ayat-ayat Al Qur'an yang menjelaskan tentang Surga yang Ijaaz. Contoh:
لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا
"Mereka tidak mau pindah dari Surga."
Imam Ghazali menjelaskan bahwa ini adalah ayat yang Ijaaz tentang Surga.
---
Menyebutkan yang khusus setelah yang umum
Surat Ar Rahman: 68
فِيهِمَا فَاكِهَةٌ وَنَخْلٌ وَرُمَّانٌ
"Di dalam keduanya ada (macam-macam) buah-buahan dan kurma serta delima."
Kurma dan delima termasuk buah. Menyebutkan yang khusus setelah yang umum.
Sebaliknya juga ada. Menyebutkan yang khusus kemudian yang umum.
ربِّ اغفر لي ولوالدي و المؤمنين و المؤمنات
Bukankah kedua orang tua (jika Islam) juga termasuk dalam Mu'minin dan Mu'minaat?
Dalam bahasa Indonesia pun hal ini juga banyak terjadi. Contoh, "Kepada Bapak Gubernur dan hadirin yang berbahagia..."
Bukankah Bapak Gubernur juga termasuk dalam golongan hadirin? Justru kurang sopan jika tidak menyebutkan yang khusus sebelum yang umum sebagaimana di atas.
---
Pengulangan
Surat Ar Rahman: 69
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
"Maka nikmat Allah kamu yang manakan yang kamu dustakan?"
Ini adalah bentuk Ithnaab yang merupakan pengulangan. Diulang sebanyak 31 kali. Momennya adalah menegur keras. Menegur keras butuh pengulangan-pengulangan.
Pada hadits juga terdapat pengulangan yang mana ini merupakan bentuk peringatan. Yaitu pada Hadits Riwayat Bukhari berikut ini.
ويلٌ للأعقاب من النار (مرتين أو ثلاثا)
"Celakalah tumit-tumit yang akan dibakar api neraka, celakalah tumit-tumit yang akan dibakar api neraka, celakalah tumit-tumit yang akan dibakar api neraka..."
---
Menyisipkan kalimat
Surat Al Waqi'ah: 75 - 77
فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ
"Maka aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang."
وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui,"
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
"Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia,"
Normlanya, setelah sumpah (ayat ke-75) langsung jawab dari sumpah (ayat ke-77). Namun ternyata ada kalimat sisipan di sana (ayat ke-76). Yang mana sesungguhnya jika selain Al Qur'an, tanpa sisipan ini pun juga tidak mengapa.
Menariknya sisipan ini juga mengandung sisipan. Sesungguhnya cukup وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ عَظِيمٌ saja. Yaitu maknanya "Sesungguhnya itu adalah sumpah yang besar." Namun, ayat ini juga mengandung sisipan, yaitu وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ.
Dalam Bahasa Indonesia kita juga sering menggunakan sisipan. Contoh, "Buku ini, kalau kamu tahu ya, mahal harganya". Ini adalah bentuk I'tiradhiyyah. Sengaja sisipannya diletakkan di tengah karena ada seninya sendiri.
Nah, pada akhirnya ini termasuk Ithnaab. Karena lafalnya jadi panjang. Padahal dibuang juga tidak mengapa.
Namun, karena ini adalah ayat Al Qur'an, tentu ada tujuan tertentu mengapa Allah memilih bentuk Ithnaab pada surat ini.
---
Contoh Musaawaah (المساواة)
Pada akhirnya memang cukup sulit untuk menentukan mana yang lebih banyak antara lafal dan makna. Bisa sama persis antara lafal dan makna itu susah juga. Ada beberapa kalimat yang tanpa perlu berlebih-lebihan berpikir, itu nampak seimbang.
Surat Fatir: 43
اسْتِكْبَارًا فِي الْأَرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ ۚ وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ ۚ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ الْأَوَّلِينَ ۚ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا
"Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu."
Perhatikan yang merah, lafal segitu ya maknanya juga segitu.
Surat Al Baqarah: 110
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan."
---
Ada ungkapan yang terkenal, yaitu Al Balaghatul Ijaaz (البلاغة الإيجاز)
Apakah Ijaaz selalu yang terbaik? Belum tentu. AlImam Ibnu Qutaibah (w. 276 H) mengatakan. "Andai Ijaaz lebih baik dari pada Ithnaab harusnya tidak ada Ithnaab di dalam Al Qur'an." Nyatanya ada. Tidak mungkin Allah Ta'ala memilih gaya bahasa yang jelek.
Kapan sebaiknya Ijaaz?
- Ingin memudahkan hafalan. Perlu matan yang ringkas untuk sesuatu yang dihafal.
- Terbatasnya waktu. Contoh ketika khutbah Jum'at.
- Mau menyamarkan sesuatu. Misal headline news.
- Khawatir pendengar bosan
Kapan sebaiknya Ithnaab?
- Ingin memperjelas sesuatu. Maka ada syarah.
- Hendak menikmati obrolan. Misal obrolan dengan pasangan atau orang tua.
- Mau menekankan sesuatu.
- Khawatir pendengar salah paham. Misal ketika di kelas atau kajian.
Al Khafaajiyy (w. 466 H) mengatakan, "Iijaaz bagus misalnya dalam surat dan syair, Ithnaab bagus misalnya dalam pidato dan buku."
---
Fashl - Washl
Pembahasan ini diletakkan memang di paling akhir. Al Haafidzh As Suyuuthiyy mengatakan, "Ini adalah bab ketujuh, dan ia merupakan bab paling serius, paling sulit, dan paling butuh ketelitian dari ilmu ini (Ma'ani), sampai-sampai sejumlah ulama menukilkan bahwa Abuu 'Aliyy Al Faarisiyy membatasi (secara qashr idhaafiyy tentunya) Balaaghah hanya pada kemampuan membedakan kapan melakukan Washl dan kapan Fashl." - Syarh 'Uquudil Jumaan
Fashl
Ialah tidak menyambungkan antara kalimat pertama dan kalimat kedua dengan harf الواو. Fashl sendiri artinya "pemisahan".
Washl
Ialah menyambungkan antara suatu kalimat dengan kalimat setelahnya dengan Al Waawu yang merupakan huruf athaf. Washl sendiri bermakna "penyambungan". Agar mudah diingat, ingantlah selalu huruf w/و.
---
Pada dasarnya kita bebas memlakukan fashl ataupun washl. Hanya saja, ada beberapa kondisi fashl ataupun washl menjadi wajib.
Fashl wajib dalam tiga kasus:
- Kalimat kedua merupakan penjelas atau penegas dari kalimat pertama
- Kalmat pertama Khabar sementara kalimat kedua Insyaa' atau sebaliknya
- Kalimat kedua merupakan jawaban atas pertanyaan yang tersirat dari kalimat pertama
Contoh Kasus 1 Wajib Fashl:
Kalimat kedua merupakan penjelas atau penegas dari kalimat pertama.
Surat Al Furqan: 120
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَىٰ
"Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukan saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"
Ayat ini terdiri dari dua kalimat, yaitu yang merah dan yang hitam. Tidak perlu pakai و pada awal kalimat kedua karena kalimat kedua adalah penjelas dari kalimat pertama.
Contoh Kasus 2 Wajib Fashl:
Kalimat pertama Khabar sementara kalimat kedua Insyaa' atau sebaliknya.
Surat Hud: 37
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا ۚ إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
"Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan."
Kalimat yang merah itu Insyaa'. Adapun kalimat yang hitam setelahnya adalah Khabaar. Oleh karena itu tidak boleh diberi huruf و. Harus dipisah.
Contoh Kasus 3 Wajib Fashl:
Kalimat kedua merupakan jawaban atas pertanyaan yang tersirat dari kalimat pertama.
Surat Yusuf: 53
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Kalimat yang merah adalah jawaban dari kalimat yang hitam di depannya. Maka tidak boleh ada washl di sini.
---
Washl menjadi wajib dalam tiga kasus berikut:
- Kedua kalimat berserikat dalam I'rab
- Kedua kalimat berbeda dalam hal Khabar/Insyaa', sementara Fashl justru ambigu
- Jika kedua kalimat sama-sama Khabar/Insyaa' lalu antara keduanya ada hubungan makna, tetapi tidak ada yang mengharuskan Fashl
Contoh Kasus 1 Wajib Washl:
Kedua kalimat berserikat dalam I'rab.
Surat Al Baqarah: 268
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui."
Kalimat yang merah dan yang oren ini berserikat dalam I'rab. Kata الشَّيْطَانُ mubtada. Khabarnya adalah يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ. Kalimat يَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ ma'tuf kepada يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ.
Contoh Kasus 2 Wajib Washl:
Kedua kalimat berbeda dalam hal Khabar/Insyaa', sementara Fashl justru ambigu.
Hadits Riwayat Ahmad: 7869
لا، و أستغفر الله
"Tidak, dan aku memohon ampun kepada Allah."
Jika tidak diberi و nanti malah jadi ambigu. Maknanya jadi "Aku tidak memohon ampun kepada Allah."
Contoh lain, suatu hari Abu Bakar radhiyallahu 'anhu bertanya kepada seorang penjual pakaian, "Apakah baju ini kamu jual juga?" Lalu penjual itu menjawab,
لا رحمك الله
"Tidak, semoga Allah merahmatimu."
Abu Bakar merespon, "Andai kalian teruskonsisten belajar dan berlatih bahasa Arab, niscaya lisan kalian akan semakin baik. Mengapa engkau tidak katakan:
لا، و رحمك الله
"Tidak, dan semoga Allah merahmatimu?
Hal ini diungkapkan Abu Bakar karena ucapan لا رحمك الله maknanya mengandung ambiguitas, yaitu bisa saja dipahami "Allah tidak merahmatimu."
Contoh Kasus 3 Wajib Washl:
Jika kedua kalimat sama-sama Khabar/Insyaa' lalu antara keduanya ada hubungan makna, tetapi tidak ada yang mengharuskan Fashl.
Surat Al Infithar: 13 - 14
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
"Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan."
وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
"dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka."
Surat Hud: 37
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا ۚ إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
"Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan."
Kalimat pertama (hitam) dan kalimat kedua (merah) sama-sama Insyaa'. Antara keduanya terdapat hubungan makna dan tidak mengharuskan untuk Fashl. Oleh karena itu butuh وَ sebagai penyambungnya.
---
Selain kasus-kasus di atas, maka pada dasarnya seseorang bebas memilih Washl ataupun Fashl. Meski perlu dicamkan bahwa di buku Balaaghah yang lebih tinggi tingkatannya, akan ada kasus-kasus tambahan di mana Fashl atau Washl juga diwajibkan.
---
Ilmu Balaaghah itu...
- merupakan nyaris sepertiga Ushul Fiqih. Sebab Ushul Fiqih tersusun dari paduan tiga ilmu: Fiqh, 'Aqiidah, dan Bahasa Arab (dengan Balaaghah yang menjadi bahasan utamanya)
- merupakan seperlima tafsir. Sebab syarat menjadi ahli tafsir ada 15 ikmu, tiga di antaranya: Ma'aanii, Bayaan, dan Badii'. Tiga ilmu ini merupakan Balaaghah.
- merupakan ilmu yang menjadi jawaban pertanyaan Anda:"Saya sudah belajar Sharf & Nahwu, tetapi mengapa belum nampak banyak keindahan bahasa Al Qur'an?"
---
Alhamdulillahi bini'matihi tatimush shalihaat.
Mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan dalam catatan kami selama ini. Semoga Allah memberkahi ilmu kita semua. Allahumma Aamiin.
Catatan Balaghah lainnya bisa dicari dengan klik tag/label berjudul "Balaghah" di bawah.
---
Selesai dicatat di Surabaya
27 Jumadil Tsani 1444H.
Comments
Post a Comment