Agar Tidak Hanya Salah Asupan, tetapi juga Tidak Salah Asuhan

Bismillahirrahmanirrahim

Tepat kemarin setelah pemilu, ada acara kumpul keluarga di rumah mertuaku. Dari empat anak mertuaku, hanya tiga anak yang bisa hadir karena satu anak lagi posisinya jauh. Dan ketiga anak ini semuanya laki-laki. Sudah berkeluarga dan sudah punya anak semua.

Di momen makan kemarin, tentu para bocil dari kedua iparku berlarian kesana kemari yang membuat para ibu harus membujuk, mengejar, dll untuk membuat bocil makan hingga kesulitan mengurus makannya sendiri. Dan di sana lah aku melihat momen kedua saudara laki-laki suamiku menyuapi istrinya yang sedang repot mengurus kebutuhan anak mereka masing-masing.

Masyaa Allah. Hatiku hangat melihat ini. Karena ternyata bukan hanya suamiku yang seperti ini, tetapi juga kedua saudara laki-lakinya,


Siapa yang mau menerjemahkan?


Bapak mertuaku orang yang sederhana. Beliau lulusan teknik sipil yang pandai membuat bangunan. Walau mungkin ketiga anak laki-laki beliau belum telihat 'wah' saat ini, tetapi menurutku beliau berhasil mendidik anak laki-lakinya menjadi suami dan ayah yang baik. Sungguh kami para menantu perempuan harus berterima kasih kepada bapak ibu mertua kami atas jerih payah keduanya mendidik para suami kami.

Di momen kemarin pula kami membahas bahwa tidak semua anak punya kemampuan yang sama. Tidak semua anak punya kecerdasan di bidang yang sama. Alhamdulillah, sepertinya ini adalah pintu masuk yang baik untuk menjelaskan ke orang tua suami bahwa kemungkinan besar anak kami tidak akan sekolah formal.

Masak kukus adalah jalan ninjaku. Semua masuk ke satu wadah lalu bye bisa ditinggal


Sudah sejak lama aku di-brainwash oleh suami tentang masalah sekolah. Dan sudah lima tahun ini kami menyamakan presepsi tentang apakah anak kami perlu sekolah atau tidak. Dan saat ini kami ada pada kesimpulan bahwa anak kami kemungkinan besar tidak akan sekolah formal dengan berbagai alasan yang mungkin akan aku jelaskan di postingan lain ketika memungkinkan. Dan konsekuensi dari hal ini adalah kami (utamanya aku) harus belajar terkait persiapan program pendidikan yang Insyaa Allah akan kami handle sendiri.

Harus banget belajar dari sekarang Ma? Hafshah masih 10 bulan lho.

Iya, harus!

Jiwa ambisku mengatakan aku harus mulai belajar sejak saat ini karena belajar dari pengalaman banyak teman-temanku yang sudah punya anak duluan sejak beberapa tahun yang lalu, mereka awalnya ingin pendidikan anaknya dipegang sendiri alias ga sekolah formal tetapi lama-lama mereka berpindah haluan karena kalau aku amati persiapan ilmu mereka kurang cukup waktu. Mungkin itulah yang membuat mereka kurang PD untuk tidak mensekolahkan anak mereka.

Dan aku tidak ingin seperti itu. Aku ga ingin karena aku kurang belajar, kurang berilmu, kurang mengusahakan, padahal aslinya bisa aku usahakan, aku jadi mleyot dan akhirnya mengirim anakku ke sekolah. 

I don't even hate school but my husband and I think we don't need school. Utamanya sistem pendidikan di Indonesia yang yaa Insyaa Allah semoga bisa kita bahas di postingan lain.

Ibunya Hafshah kuliah lagi biidznillah


Maka sungguh benarlah perkataan Mbak Vidya bahwa kudidik diriku sebelum kudidik anakku. Aku baru benar-benar merasakan istilah "Ibu Madrasatul ' Ula" saat ini. Yang mana harusnya ibunya benar-benar dipersiapkan sebagai pendidik yang baik sebelum mendidik anaknya. Dan inilah salah satu usaha yang kami lakukan agar anak kami tidak hanya salah asupan, tetapi juga tidak salah asuhan.

Sudah begitu banyak kelas kesehatan yang aku ikuti dan biidznillah itu membuat aku sangat puas dengan proses kehamilan, persalinan, hingga metode MPASI terbaik yang masih aku perjuangkan saat ini. Aku benar-benar merasa bahwa konwledge is power yang membantuku melewati masa-masa itu semua. Maka aku juga ingin merasakan kepuasan yang sama untuk proses pengasuhan Hafshah. Dan untuk hal-hal yang akan dialami di masa mendatang, bukankah baiknya kita persiapkan ilmunya sebelum fase itu tiba? Agar ketika datang masanya, kita tidak kelabakan dan tidak menyesali diri sendiri yang mungkin sebenarnya bisa berjuang lebih.

In this very busy world, ketika banyak orang melakukan ini dan itu untuk pencapaian dan kontribusi di luar, sementara urusan di dalam pun juga belum sepenuhnya selesai, semoga kamu Rahma tetap ingat bahwa ada urusan yang begitu penting di dalam rumah untuk benar-benar diperjuangkan: pendidikan anak.

Momen pertama kali Hafshah maunya makan sendiri. Terjadi setelah sakit. Ibunya lagi ga mau saklek harus duduk di meja karena mau makan aja udah Alhamdulillah. Alhamdulillah bapak ibunya Hafshah lulus dari uleg saring


Dear Hafshah, pendidikan Hafshah adalah mega proyek bagi bapak dan ibu. Karena Hafshah dititipkan kepada kami, bukan kepada orang lain. Berhasil mendidik Hafshah menjadi anak yang shalihah adalah prestasi besar bagi kami yang semoga itu bisa menyelamatkan kami dari siksa api neraka. 

Ternyata memiliki anak memang seasyik ini Nak. Ibu jadi semangat belajar hal baru untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi Hafshah. Doakan kami ya Nak, semoga Allah memberi taufik kepada kami untuk proses pendidikan Hafshah dan adik-adik (jika Allah meridhai Hafshah punya adik).

---

Selesai ditulis tepat ketika Adzan Dhuhur
25 Jumadil Awwal 1446H



Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Mendidik Tidak Mendadak - Ustadz Abdul Kholiq Hafidzahullah