Alasan Akhirnya Ikut Menerapkan GAPS
Bismillahirrahmanirrahim
Selesai ditulis ketika masuk waktu Subuh,
Saat sesi konsultasi, Mbak Chalida bilang bahwa jika aku masih ingin menyusui, aku harus ikut pola makan GAPS juga. Karena jika tidak, air susuku justru akan menjadi sumber toksin bagi Hafshah yang mana itu akan berpengaruh buruk pada progres GAPS yang sedang kami perjuangkan.
Karena aku ingin menyusui sampai hak Hafshah terpenuhi, yaitu dua tahun, mau tidak mau aku akhirnya memutuskan ikut menerapkan GAPS untuk diriku sendiri. Alasan yang kurang lengkap aslinya hehe karena sejujurnya diriku sendiri yang PCOS inilah yang juga butuh menerapkan GAPS.
So here we go! Ini adalah cerita tentang setelah kurang lebih sebulan menjalani GAPS.
Dulu hal yang paling membuat aku takut untuk menjalani GAPS adalah karena tidak bisa makan nasi. Iya, aku sesuka itu pada nasi. Aku suka nasi padang. Dan apa kabar jika aku tidak boleh makan nasi? Berarti ga bisa ke warung padang lagi dong?
Namun ternyata tidak bisa makan nasi bukan sesuatu yang menyeramkan. Justru menjadi titik balik bagiku untuk tidak bermudah-mudahan membeli makan di luar karena ya ngapain juga beli di luar orang yang ada di luar pada ada nasinya.
Kondisi ini membuat aku mau tidak mau jadi masak terus setiap hari hehe. Kecuali dalam kondisi tidak memungkinkan seperti safar, aku makan di luar seperti Soto atau apapun yang bisa diterima oleh GAPS. Hanya saja memang makan di luar ini tidak disarankan di bulan-bulan awal menjalani GAPS karena bagaimanapun kita tidak bisa mengontrol bahan, alat, dan tata cara masak yang dilakukan orang lain.
Sarapan bapaknya Hafshah yang sedikit banyak ikutan nge-GAPS karena ibunya Hafshah masakannya begitu hehe |
Hal lain yang aku syukuri dari menjalani GAPS adalah aku bisa seirama dengan Hafshah. Hafshah ini suka sekali kepo dengan apa yang orangtuanya makan. Dulu ketika aku masih makan nasi, aku selalu menghalau Hafshah dari piringku karena dia ingin mengambil nasi dari piringku. Aku selalu beda piring dengan Hafshah karena isi piring kami memang berbeda.
Namun karena saat ini apa yang aku makan boleh dimakan Hafshah, justru menjadi sangat mudah bagiku untuk menyuapi Hafshah karena menu kami sama. Satu masakan bisa sekalian untuk Hafshah dan orangtuanya. Jujur aku menjadi jauh lebih lega karena aku tidak hanya perintah perintah aja ke Hafshah tetapi juga mencontohkan apa yang aku perintahkan.
Children see, children do. Hafshah tentu ingin makan nasi jika aku makan nasi. Dan Hafshah tentu tidak kepo dengan nasi jika aku tidak makan nasi.
Ketika baru dua pekan menjalani GAPS, aku melakukan body assessment di Mazaya. Yang tadinya usia selku sebelum menjalani GAPS adalah 32 tahun (padahal aku masih 28 tahun secara masehi), setelah menjalani GAPS, usia selku jadi 29 tahun. Masyaa Allah Tabarakallah. Aku husnudzon bahwa ada kaitannya dengan GAPS yang aku terapkan karena selama ini walau rajin workout dengan tetap menjaga makanan tetapi belum menerapkan GAPS, usia selku tetap 32 tahun.
Jadi generasi anak kita itu berat, warisan toksinnya bertumpuk-tumpuk dari nenek moyangnya termasuk dari kita |
Bagiku pribadi, menjalani GAPS juga bagian dari parenting yang aku ajarkan kepada Hafshah. Aku berharap dengan Hafshah sering melihat aku berkreasi di dapur, ia akan sadar bahwa fitrahnya perempuan memang demikian.
There is nothing more inspiring than the role of the mothers who are the backbone of the strong society. Begitu kata Mbak Chalida hafidzahallah.
Dan salah satu peran utama itu adalah di dapur. Menjaga kesehatan keluarga. Menjaga agak tidak bermudah-mudahan jajan di luar. Menjaga kehangatan keluarga dengan menyiapkan makanan untuk merekatkan kembali kebersamaan ketika makan bersama.
Setinggi apapun gelarnya nanti. Sehebat apapun potensinya nanti. Sekeren apapun komepetensinya nanti. Memilih kembali ke dapur tidaklah menunjukkan kelemahannya. Justru menjadi bukti kuatnya azzam untuk mengisi peran yang sudah lama hilang di tengah-tengah keluarga umat Islam saat ini.
Dapurku yang sempit tetapi begitu membuatku bahagia biidznillah |
Namun memang menjalani GAPS ini tetap ada tantangannya.
Pertama, aku jadi mudah lapar. Sudahlah memang busui itu laperan, eh ga makan nasi pula haha. Bakteri penyuka sugar meraung-raung minta makan berkali-kali. Blood sugar ku juga belum stabil karena dalam proses transisi.
Walhasil aku bolak balik makan hehe. Tapi biidznillah emang ga jadi gemuk karena mungkin yang aku makan bukan karbo. Ketika lapar aku makan protein dan memang seringnya masih makan buah seperti pisang kukus, alpukat, kismis, dan kurma.
Iya, aku paham betul bahwa di GAPS buah memang boleh dan harus dibatasi, tetapi aku ingin berkasih sayang pada diri sendiri yang masih dalam proses transisi ini.
Alhamdulillah ada alternatif camilan yang disarankan untuk menanggulangi rasa lapar yang GAPS legal. Yaitu campuran butter dan madu yang bisa dimakan mulai dari 1 sdt tiap 15-20 menit sekali. Camilan ini untuk membantu proses transisi tubuh yang tentu masih suka manis dan mudah lapar agar lebih stabil blood sugar nya. Harapannya nanti perlahan sudah ga craving manis lagi.
Kedua, proses detoks yang terjadi mungkin di luar ekspektasi. Karena ketika menjalankan GAPS tubuh melakukan detoks yang lebih-lebih lagi, akan ada berbagai reaksi yang terjadi seperti rambut rontok, ganti kuku, dll. Kalau di aku reaksinya adalah muncul bintik di berbagai tempat.
Ketiga, mau tidak mau harus baca buku GAPS yang tebal itu hahaha. Bukunya tidak hanya tebal tetapi juga mahal hehehe. Alhamdulillah Allah mampukan beli hasil dari gaji terakhir sebagai Akuntan di Mazaya hehe.
Dari dulu males baca karena takut ga bisa bahasa Inggrisnya dan kek ngerasa ga penting gitu baca buku. Namun ternyata aku salah besar. Jujur aku senang sekali membaca buku GAPS ini karena jadi punya deep understanding tentang segala hal yang dijelaskan di kelas-kelas holistik dan punya big why untuk menjalankan GAPS.
Di era ketika kesehatan holistik ini mulai banyak pengikutnya, yang aku rasakan adalah terkadang aku sangat bingung dengan banyaknya qila wa qala. Ada praktisi yang bilang begini, dan ada praktisi yang bilang begitu. Mereka semua sepakat soal realfood, tetapi mereka berbeda-beda dalam menyikapi banyak hal lainnya. Dan bagiku membaca buku GAPS membuat aku kembali pada rujukan yang ajeg untuk tidak ragu-ragu memilih mana kesehatan holistik yang benar.
Jika kamu mulai bingung menerapkan pola kesehatan harian saking banyaknya pendapat yang kamu baca, saranku, bacalah buku GAPS lalu ikutilah. Insyaa Allah kamu ga bingung lagi soal penerapannya.
Spill dikit-dikit. See? Betapa banyak pegiat holistik yang bermudah-mudahan makan gluten free? Menganggap pokoknya kalau gluten free mah aman |
Keempat, istilah-istilah yang asing di telinga orang Indonesia. Pernah dengar beet kvaas? ghee? sauerkraut? Istilah-istilah ini begitu keminggris yang membuat aku "Hah, Ini apa deh? Hah, ini kayaknya mahal. Hah, cara bikinnya gimana?" Mana baru aja aku salah beli bahan gara-gara istilah yang digunakan pakai bahasa Inggris wkwkwk.
Padahal sejatinya banyak sekali istilah-istilah di GAPS yang hakikatnya bisa dibuat sendiri di rumah dan tidak perlu keluar banyak biaya. Menurutku istilah-istilah GAPS yang belum ter-Indonesia-kan ini membuat sebagian orang jadi takut duluan untuk menerapkan GAPS. Lagi-lagi, kunciannya adalah kembali ke hakikat. Perlu sangat paham hakikat agar tidak merasa takut menerapkan istilah-istilah yang ada di GAPS.
Kelima, pengelolaan keuangan yang lebih-lebih lagi hehe. Karena di GAPS sebagian besar kita butuh makan protein, tentu ada adjustment keuangan yang kami lakukan. Menjadi salah satu titik balik untuk mencoba berclodi lagi agar pengeluaran tidak semakin membengkak. Cara lain yang kami lakukan adalah dengan belanja protein di pasar induk karena biidznillah lumayan juga perbedaan harganya.
Keenam, penerapan GAPS akan sangat beda antar tiap individu. Tidak seperti obat yang disamaratakan misal diminum 3x sehari, konsumsi makanan pokok GAPS, yaitu meatstock dan probiotic itu dosisnya bener-bener disesuaikan dengan individu masing-masing. Ga bisa nyontek orang lain karena kondisi tubuh beda-beda dan akumulasi toksin juga beda-beda. Lama waktu menjalankan GAPS juga ga bisa dibandingin ke orang lain karena tergantung progres yang terjadi di tubuhnya masing-masing.
But, menurutku, walau ini terdengar buruk bagi orang yang kebiasaan punya panduan jelas macam minum obat 3x sehari, ketidakjelasan panduan dosis di GAPS ini membuat kita akan jauh lebih mendengarkan kebutuhan diri kita sendiri. Jauh akan berusaha terkoneksi kembali dengan diri kita yang selama ini kita abaikan kebutuhannya karena terbiasa diseragamkan dengan mayoritas manusia.
Overall, aku merasa sangat butuh pertolongan Allah dalam menjalani GAPS ini. Berdoa semoga istiqomah dan Allah izinkan anak kami, Hafshah, bisa lulus dari semua stage yang ada di GAPS. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang memberi kami hidayah kepada jalan ini. Jalan yang banyak dilupakan umat Islam di masa ini yang bermudah-mudahan untuk memakan segala hal yang tidak baik untuk diri mereka sendiri. Semoga Allah menjaga kita semua dalam kebaikan. Semoga Allah mudahkan kita untuk tidak denial terhadap segala kebenaran. Allahumma Aamiin.
14 Sya'ban 1446H
Comments
Post a Comment