Belum Jalan di Usia 14 Bulan

Bismillahirrahmanirrahim

What is emotional attachement in child development?
Yaitu kecenderungan bayi manusia dan hewan untuk menjadi dekat secara emosional dengan individu tertentu dan menjadi tenang dan nyaman saat berada di hadapan mereka.

Bayi manusia mengembangkan ikatan emosional pada pengasuhnya, terutama ibu dan ayah. Dan keterikatan dengan pengasuhnya merupakan langkah untuk membangun rasa aman di dunia. Ketika ia sudah mengembangkan rasa aman, maka ia akan memiliki kemampuan untuk berkembang secara optimal dalam setiap tonggak perkembangannya.

Deg!

Grounding siang hari


Menyimak mata kuliah Lifespan Development membuat aku muhasabah berkali-kali. Ada perasaan bersalah yang datang bertubi-tubi. Seperti connecting the dots dari satu kejadian ke kejadian lain. Yang mana kemudian aku menyadari bahwa aku pun sejatinya -kalau boleh dibilang- victim dari apa yang terjadi di masa lalu.

Kelekatan adalah ikatan emosional dengan orang lain. Bowlby meyakini bahwa ikatan paling awal antara anak dengan pengasuhnya memiliki dampak luar biasa yang terus berlanjut sepanjang hidup. Hipotesis berikutnya menyatakan bahwa Internal Working Model (IWM) ensures that early attachements are reflected in later relationship types. For example, a secure attachement as a child leads to greater emotional and social stability as an adult, whereas insecure attachement is likely to lead to difficulties with later relationships. Hal ini bisa jadi direfleksikan pada gaya pengasuhan ketika anak telah memiliki anaknya sendiri.

Ya Allah...

Life as student-parent


Ketika menyimak kuliah ini, aku kepikiran Hafshah. Hafshah belum bisa jalan di usia 14 bulan. Padahal ia sudah trantanan dari usia 8 bulan. Pernah ia antusias belajar jalan dengan mendorong kursi, tetapi kemudian dia juga pernah takut untuk melakukannya kembali.

Apa yang membuat ia demikian? Apakah mungkin ia merasakan rasa tidak aman sebagai dampak dari attachement yang dimataku pernah kurang baik selama aku menjadi WFH accountant dulu? Wallahua'lam, hanya Allah yang tahu.

Namun, ada hal yang membuatku sedikit bernafas lega. Bahwasanya...

He said that there was a hierarchy of attachement with a primary caregiver, usually the mother at the top. In collectivist cultures, infants seem to form many aqually important attachements to different people. He didn’t believe that the main attachement had to be the mother alone, saying that his words 'maternal' and 'mothering' were not intended to mean mother. 

Iya, berbicara tentang attachement bukan berarti harus berbicara tentang ibu saja. Attachement seorang anak juga terjadi dengan orang di sekitarnya. Meminjam istilah Mbak Chalida, yaitu co-parenting, anak perlu sosok caregiver (tidak harus ibu) untuk kebutuhan attachement nya. Dan Alhamdulillah, Hafshah selama ini -lagi lagi di mataku- Insyaa Allah tidak kekurangan attachement dari bapak dan eyangnya.

As if dia bisa berdiri sendiri ya, Masyaa Allah. Itu dia pegangan tongkat.


Overall, belajar Islamic Psychology ini membuat aku banyak merenung. Ternyata banyak ya kekurangan kita sebagai orang tua. Ternyata begini ya jadi orang tua. Sosok yang dulu mungkin sering kita anggap kurang begini dan begitu, sosok yang dulu kita anggap punya kesalahan ini kesalahan itu, ternyata sosok itu adalah diri kita sendiri.

Dan menurutku tidak ada orang tua yang tidak kurang dan tidak melakukan kesalahan. Hanya saja ada orang tua yang mau belajar, dan ada yang tidak. 

Termasuk belajar mengelola ekspektasi dan mengelola emosi ketika melihat anak orang lain -seperti- lebih baik dari anak sendiri.

Bikin X buat nyatet insight menarik dari materi kuliah


Kapan hari aku bertemu temanku dan anaknya yang berusia 8 bulan. Ketika melihat anaknya, hatiku sedih. Aku sedih karena anaknya lebih gembul dari anakku padahal usianya jauh di bawah anakku. Aku berusaha mengelola perasaan ini dengan mensyukuri bahwa anakku juga sehat. Iya, walau aku memang masih berjuang dengan BB nya.

Long story short, ketika kami duduk bersama, ternyata anak temanku belum tumbuh giginya. Meanwhile, Hafshah giginya sudah sangat ramai karena biidznillai tumbuh gigi sejak usia 5.5 bulan.

Anakku punya kekurangan, demikian pula dengan anak orang lain. Ketika anak orang lain terlihat lebih baik, kita hanya belum tahu saja PR yang ada di anak itu apa. Karena aku yakin, setiap anak punya PR yang akan membuat orang tuanya bertumbuh.

Baca buku GAPS harus tetep jalan


And yes, Hafshah belum jalan di usia 14 bulan ketika mungkin anak lain sudah melakukannya di usia 11 atau 12 bulan. Namun, Hafshah juga punya kelebihan. Selain giginya yang tumbuh banyak, juga biidznillah terlihat bakat spasialnya. Sepertinya ia mewarisi bakat bangun ruang dari kakek dan bapaknya. Hafshah juga banyak mengoceh. Sudah bisa mengatakan "bapak", "nenen", bahkan beberapa kali seperi mengatakan "apa itu?".

How sweet is she, Masyaa Allah


Pada akhirnya perjalanan menjadi orang tua adalah perjalanan never ending learning. Bagiku, kehadiran anakku membuat aku tertarik belajar jauh lebih dalam tentang kesehatan, baik fisik maupun jiwa. Anakku deserves hal terbaik yang bisa aku usahakan. Dan inilah hal terbaik yang bisa aku usahakan saat ini: Giat belajar!

---

Ditulis di waktu Sahur
Waktunya ibu ngampus dulu
12 Ramadhan 1446H

When Psychology meets Finance



 




Comments

Popular posts from this blog

Resign untuk Kedua Kalinya

Bukan Sekedar Pindah ke Kontrakan

Alasan BB Hafshah Stuck Berbulan-bulan

Mendidik Tidak Mendadak - Ustadz Abdul Kholiq Hafidzahullah

GTM pada Anak: They Need Your Help Mom!