Set Ekspektasi: Ramadhan Bersama Bayi

Bismillahirrahmanirrahim

Ramadhan selalu punya ceritanya sendiri. Aku ingat sekali ketika SMA (entah 2012 atau 2013), di tengah malam Ramadhan aku berharap di masa depan bisa menemukan alat atau apapun yang bisa membedakan darah haid dan darah istihadah. Iya, karena saat itu aku sangat kebingungan karena pendarahan terus. Minum obat ini obat itu tidak mempan. Aku bingung harus shalat atau tidak. Sedih sekali rasanya saat itu. Kebingungan yang amat dalam karena tidak tahu apa yang terjadi dalam tubuhku.

Namun ternyata, jawaban dari harapan itu bukan dengan aku yang jadi seorang peneliti atau ekspert di bidang science. Jawabannya Allah beri bertahun-tahun kemudian lewat ilmu kesehatan holistik yang mengantarkan aku pada tidak pendarahan lagi biidznillah.

GAPS Shake


Di suatu malam Ramadhan 2016 aku pernah shalat tarawih di Masjid As Sunnah Bintaro. Saat itu adalah tahun kedua aku belajar bahasa Arab. Kala itu untuk pertama kalinya dalam hidup aku bisa memahami ayat yang dibaca oleh imam biidznillah. Rasanya terharu sekali karena ternyata perjuangan belajar bahasa Arab yang tentu dulu sulit bagiku sedikit banyak membawakan hasil. Walau tentu hingga hari ini tidak semua ayat bisa aku pahami maknanya, tetapi saat itu rasanya nyes sekali karena memang sebermanfaat itu belajar bahasa Arab.

2019 pernah begitu mencekam bagiku yang sangat syok dapet penempatan minoritas muslim. Namun, bulan Ramadhan kala itu begitu hangat bagiku yang menemukan saudara muslim di perantauan. Rasa saling memiliki yang tidak aku temukan di Jawa karena memang ketika muslim dalam kondisi minoritas mereka menjadi begitu solid.

Anakku yang udah bisa ngasih bunga


Tahun lalu dan tahun ini Ramadhanku juga punya cerita sendiri. Iya, Ramadhan bersama bayi. Yang mana tentu secara dhahir aku tidak bisa beribadah menyamai orang-orang yang tidak punya bayi. Aku punya kewajiban merawat anakku yang tentu menguras waktu, tenaga, dan perhatian.

Tahun ini Alhamdulillah aku jauh lebih ringan untuk memutuskan tidak puasa dari pada tahun lalu. Ya siapa sih yang pingin punya hutang puasa? Hehe. Tapi tentunya keputusan ini bukan karena aku malas puasa, tetapi karena pertimbangan yang sudah aku pikirkan sebelumnya.

Puasa Ramadhan itu termasuk dry fast, tidak ada asupan makanan dan minuman sama sekali. Meanwhile ibu hamil danmenyusui itu rentan malnutrisi. Mereka butuh asupan nutrient dense foods 3x lipat dibanding orang dewasa lain dalam keadaan sehat. Selain itu mereka juga rentan leacky gut

Dan puasa adalah proses detoksifikasi. Mengeluarkan materi-materi yang rusak atau toksik dalam tubuh. Jika organ detoks kita tidak berfungsi dengan baik yang mana salah satunya kita konstipasi (aku banget ini) maka materi yang mau dikeluarkan itu hanya beredar-edar saja di aliran darah (tidak mampu dikeluarkan). Darah itu tidak hanya membawa nutrisi lho, dia juga membawa racun. Materi yang beredar-edar tadi masuk ke umbilical cord janin dan ke lobulus kelenjar susu yang kemudian ditelan bayi lewat proses menyusui.

Jadi? Kalau aku ikut puasa dalam kondisi menyusui yang mana aku juga leaky gut, selain dhalim sama diri sendiri, aku juga dhalim ke anakku.

Selengkapnya cek di sini


Aku tidak akan mempedulikan orang yang berkomentar, "Mbok ya anaknya diajari puasa. Dikasih contoh lah untuk puasa." Karena aku tahu mengajari anak puasa itu ada waktunya. Mencontohkan anak berpuasa itu juga bukan sekarang. Semua ada masanya dan saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan itu.

Aku akan lebih peduli kepada kesehatan anakku yang mana di masa ini memang tubuh fisiknya yang harus menjadi perhatiannku. Tubuh yang ingin kami support semaksimal yang bisa kami lakukan agar ia tumbuh menjadi manusia yang sehat untuk menopang kehidupannya sebagai hamba. 

Tahun lalu ada seorang ibu yang puasa dalam kondisi hamil besar yang tidak lama kemudian berakhir melahirkan sesar. Tahun lalu juga ada seorang ibu yang puasa ketika hamil dan kemudian ASI nya seret. Apakah ada kaitannya? Entahlah. Silahkan ditanyakan pada hati masing-masing.

Anakku si suka bangun ruang


Aku sudah bisa berdamai dengan keadaan bahwa iya saat ini aku belum bisa berpuasa. Namun aku tetap bisa shalat kan? Aku tetap bisa baca Al-Qur'an. Aku juga bisa melakukan kebaikan-kebaikan lain non puasa yang aku yakin Allah juga pasti melihat usahaku tersebut.

Namun memang aku harus set ekspektasi bahwa tadarusku mungkin tidak akan sebanyak orang lain. Shalat malamku juga mungkin tidak bisa sebaik orang lain. Ibadah-ibadah lainnya juga mungkin baru bisa begini dan begitu.

Karena bagiku bisa baca Al-Qur'an tanpa distraksi saja sudah syukur. Bisa shalat dua rakaat sudah Alhamdulillah. Bisa duduk tenang berdoa juga ternyata adalah sebuah nikmat yang dulu aku abaikan begitu saja. Iya, dengan kondisi ini aku jadi mudah mensyukuri hal-hal kecil.

Karena jika aku ambis sekali ingin seperti orang-orang pada umumnya, apa kabar Hafshahku nanti? Kalau aku maksa banget ingin shalat tarawih di masjid, justru Hafshah aku menanggu orang lain dan malah membuatku berdosa. Kalau aku maksa banget ingin khatam sekian juz sehari, siapa yang mau mengurus dan menemani Hafshah? Sadar diri aja bahwa mengurus anak juga berpahala. Menerima ketetapan dan takdir Allah juga mendatangkan pahala. 

Hafshah sudah aku tunggu bertahun-tahun lamanya. Dia bukanlah beban, dia adalah parter dalam beribadah. Karena dengan kehadirannya aku jadi punya kesempatan mendapatkan pahala dari pintu merawat dan membesarkan anak.

Bisa baca selengkapnya di sini


Selesai ditulis di pagi hari
1 Ramadhan 1446H

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Resign untuk Kedua Kalinya

Ketika Ingin Tidak Banyak Tidur tetapi Tetap Sehat