Ketika Sifat Melupakan Kesalahan Pihak Lain Terus Ditantang

Bismillahirrahmanirrahim

Sebagai orang dewasa, tidakkah kita menyadari bahwa interaksi di antara manusia adalah ujian? Betapa banyak gesekan, beda pandangan, konflik harian yang terjadi dengan orang-orang di sekitar kita. Entah dari hal sepele sampai hal besar sekalipun. Entah disengaja maupun tidak. Kita tidak akan bisa terhindar dari gesekan-gesekan ini karena Allah pun telah berfirman 

وَجَعَلۡنَا بَعۡضَكُمۡ لِبَعۡضٍ فِتۡنَةً  ؕ اَتَصۡبِرُوۡنَ​ۚ
"Dan Kami jadikan sebagian kamu menjadi ujian bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar?"

Dan hal yang bagiku akan membuat mudah bersabar adalah dengan taghaful. Iya, taghaful. Melupakan kesalahan orang lain.

Bermain ke gunung

Aku tahu, ketika kita berkonflik, ingin sekali rasanya menjelaskan ini dan itu bahwa kita tidak bersalah. Ingin sekali rasanya orang lain minta maaf karena mereka begini dan begitu. Namun, semakin hati menuntut harus demikian dan demikian, semakin sakitlah jiwa ini. Semakin sesak dan sempit karena perkara-perkara yang sejatinya bisa kita relakan untuk tidak dipermasalahkan.

Demikian juga dalam berkeluarga. Pasangan, orang tua, anak, atau anggota keluarga lainnya, sangat mungkin berkonflik dengan kita dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan melupakan kesalahan orang lain ini merupakan tantangan harian. Bahkan mungkin dari detik ke detik lain, dari menit ke menit lain. Kita terus dan terus diuji dengan orang-orang disekitar kita dan ditantang untuk melupakan kesalahan mereka selama kesalahan itu bukan kesalahan yang fatal dan melanggar aturan agama.

Benar tidak semua kesalahan harus didiamkan, tetapi betapa banyak hal sepele yang sejatinya tidak perlu dibesar-besarkan?

Dua orang yang kusayangi


Beberapa hari yang lalu ada yang meneleponku untuk konsultasi terkait jodoh. Dan bagiku yang sudah melewati lima tahun pernikahan -biidznillah- pernikahan adalah tempat di mana dua orang terus saling memaafkan satu sama lain. 

Benarlah apa yang dikatakan oleh buku "Mahkota Pengantin" bahwa cinta itu datang dan pergi, naik dan turun, menguat dan melemah, dan tidak ada pagar terbaik selain syari'at Allah Ta'ala. Euforia bahagianya merayakan getaran-getaran hati itu bisa jadi terjadi di awal saja. Selebihnya pernikahan adalah sebuah proses untuk saling bertumbuh, saling membantu, saling melengkapi, dan saling memaafkan satu sama lain. Proses ini jauh lebih bermakna dari getaran hati ketika seseorang jatuh cinta. Karena dengannya ada banyak sekali pelajaran dan hikmah yang membuat kita menyadari bahwa pasangan kita adalah sosok yang memang terbaik untuk diri kita -biidznillah-

Dia lah pihak yang masih menerima kita ketika dia telah mengetahui segala keburukan yang tidak diketahui orang lain. Dia lah seseorang yang mau bertahan ketika mungkin sudah banyak tersakiti dengan lisan dan perilaku kita.

Terima kasih untuk tidak hanya bersedia menikahiku, tetapi juga menikahi mimpi-mimpiku


Di mata kuliah Psikologi Islam, aku dibuat begitu kagum dengan pemahaman bahwa kita ini, walau kondisinya tidak ideal dan mungkin akan mempengaruhi psikologi kita, kita tetap diberi kebebasan memilih untuk merespon dengan respon terbaik atas semua kejadian dalam hidup. Hal ini lah yang tidak ada dalam konsep Psikologi Barat yang tidak mempertimbangkan adanya aspek jiwa atau ruh dalam diri manusia. Psikologi Barat umumnya memandang jika begini maka begitu. Padahal kehidupan yang sejati adalah kehidupan jiwa. Dan hidupnya jiwa itu sangat mudah kita raih dengan panduan-panduan agama.

Masih di mata kuliah yang sama, aku juga dibuat kagum dengan hasil penelitian bahwa pada titik tertentu uang memang membuat bahagia, tetapi setelah batas primer kebutuhan terpenuhi, tidak terjadi peningkatan kebahagiaan karena uang. Ada yang namanya Adaptive Level Principle yaitu kecenderungan untuk menyesuaikan pada kondisi tertentu setelah pemaparan terus-menerus. Contoh ketika membeli mobil, pada awalnya setelah membeli mobil kita merasa senang dan bahagia, Tapi seiring dengan waktu perasaan senang itu hilang dan menjadi biasa saja, seperti barang lain yang telah dimiliki. 

"Jadi perasaan bahagia tersebut hanya sementara waktu saja, karena adanya prinsip adaptasi ini.Setelah beradaptasi, maka salah satu yang kita lakukan supaya merasa bahagia adalah dengan membuat target baru. Misalnya kita membuat target baru untuk membeli barang-barang yang lainnya supaya merasa bahagia. Oleh karena itu para peneliti menyimpulkan bahwa kebahagiaan itu sulit untuk diraih.Prinsip adaptasi ini diaplikasikan tidak hanya pada kepemilikan materi tapi juga target-target lain dalam hidup kita. Misalnya kita mencari pekerjaan baru, kemudian mendapatkannya. Setelah beradaptasi dengan cepat maka kita mulai merasa bosan, kemudian membuat target yang lain."

Apa hubungannya hal ini dengan bahasan utama untuk melupakan kesalahan orang lain? Bagiku, sangat berhubungan! Karena ketika kita berkonflik, rasanya ingin sekali orang lain minta maaf sehingga kita merasa puas dan merasa tervalidasi bahwa kita tidak bersalah. 

Namun, lihatlah bahwa rasa bahagia itu memang adaptif. Perlahan rasanya tidak akan sesenang sebagaimana di awal. Perasaan ini jika dituruti tidak akan ada habisnya. Akan terus meminta orang lain minta maaf ketika di mata kita mereka bersalah.

Menghirup udara segar


Karena kebahagiaan adalah hal yang terus menerus sulit diraih dengan adanya konsep ini, aku jadi menyadari bahwa betapa benarlah hadits berikut ini:

"Barangsiapa yang memiliki tiga hal berikut ini akan merasakan manisnya iman: yang mendambakan Allah dan Rasul-Nya melebihi apa pun yang ada di dunia, yang mencintai orang lain dan rasa cintanya karena mencari ridha Allah. Dan  yang benci untuk kembali pada kekafiran, setelah Allah menyelamatkan dari kekafiran tersebut, sebagaimana ia benci untuk masuk neraka."

Manisnya iman, rasa bahagia yang hakiki, itu adalah dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi apa pun juga. Dan di antara tanda cinta adalah dengan patuh pada syari'at agama. Dan bukankah agama menganjurkan kita untuk memaafkan orang lain ketika mereka berbuat kesalahan? Instead of menuntut mereka klarifikasi dan meminta maaf kepada kita.

Sebagaimana aku sampaikan di awal tadi, semakin hati menuntut orang lain harus demikian dan demikian, semakin sakitlah jiwa ini. Semakin sesak dan sempit karena perkara-perkara yang sejatinya bisa kita relakan untuk tidak dipermasalahkan.

Tetap grounding di mana pun dan kapan pun


Pun di mata kuliah ini ada bahasan terkait emosi. Bahwasanya emosi itu banyak ragamnya dan bahwasanya emosi adalah karunia dari Allah Ta'ala. Yang menarik adalah bahwasanya emosi itu sangat bisa dikendalikan. 

Sebagai contoh emosi berupa amarah. Emosi ini bisa kita kendalikan dengan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan meminta perlindungan kepada Allah, berwudhu dan diam. Dan inilah metode terbaik untuk meredam amarah karena amarah memang datangnya dari syaitan (yang mana kita butuh perlindungan dari Allah) dan kita butuh diam agar tidak mengatakan hal yang menyakitkan atau melakukan perbuatan yang buruk.

Betapa sering kita menyesali perkataan yang kita lontarkan kepada pasangan ketika marah. Betapa mungkin kita menyakiti anak secara fisik ketika kita marah. 

Islam pun telah memberi panduan untuk mengubah posisi ketika marah karena jika aku kaitkan dengan ilmu kesehatan yang aku pelajari, representasi dari jantung itu adalah lisan dan tangan. Ketika jantung bergejolak (marah) rasanya memang ingin ngomel atau membanting sesuatu. Diam adalah solusi dari ngomel, dan mengubah posisi adalah solusi untuk menyalurkan energi agar tidak membanting sesuatu. Wallahua'lam.


Tidak pernah menyangka Allah izinkan mengisi kelas dengan tema ini



Cita-cita yang sama sejak belasan tahun yang lalu. Semoga salah satunya terealisasi dengan webinar tersebut



Taghaful. Semoga Allah karuniakan kita sifat yang mulia ini. Utamanya kepada pasangan dan anak kita yang tentu akan berbuat kesalahan sebagaimana kita. 

Ditulis di pagi hari sebelum mengisi webinar tentang menulis Esai Ilmiah
dan diselesaikan dua hari kemudian
14 - 16 Syawwal 1446H


Comments

Popular posts from this blog

Resign untuk Kedua Kalinya

Bukan Sekedar Pindah ke Kontrakan

Alasan BB Hafshah Stuck Berbulan-bulan

Mendidik Tidak Mendadak - Ustadz Abdul Kholiq Hafidzahullah

GTM pada Anak: They Need Your Help Mom!